Thursday, December 3, 2015

PENGERTIAN HERNIA INGUINALIS




A.    KONSEP DASAR MEDIK
1.      Pengertian
Hernia adalah protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek/bagian yang lemah dari dinding rongga. Hernia inguinalis lateralis adalah hernia yang melalui hernia annulus inguinalis atau lateralis, menyusuri kanalis yang keluar dari rongga perut melalui inguinalis eksterna.

2.      Etiologi
§  Kongenital
Terjadi akibat prosesus vaginalis peritonium disertai dengan annulus inguinalis yang cukup lebar, terutama ditemukan pada bayi
§  Akuisita
Akuisita ditemukan adanya faktor kausa yang berperan untuk timbulnya hernia yaitu :
a. Prosesus vaginalis yang terbuka, yang disebabkan oleh;
Ø  Pekerjaan mengangkat barang-barang berat.
Ø  Batuk kronik, bronchitis kronik, TBC.
Ø  Hipertropi prostat dan konstipasi.
b.      Kelemahan otot dinding perut, yang disebabkan oleh;
Ø  Usia tua, sering melahirkan.
Ø  Kerusakan moninguinalis dan iliofermalis setelah apendiktomi.

2.      Pathofisiologi
Defek pada dinding otot mungkin kongenital karena kelemahan jaringan atau ruas paling dalam lumen inguinalis atau dapat disebaabkan karena trauma tekanan intra atau kegemukan. Mengangkat beban yang berat juga menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdominal, seperti batuk dan cedera traumatik karena tekanan tumpul. Kedua faktor ini terjadi bersamaan dengan kelelahan otot, individu akan mengalami hernia dan bila isi kanong hernia dapat dipindahkan kekantong abdomen yang termanipulasi.
Bila tekanan dari cincin hernia (cincin dari jaringan otot yang dilalui oleh protusi usus) memotong suplai darah kesegmen hernia dari usus menjadi terstragulasi. Situasi ini adalaah kedaruratan bedah karena usus terlepas. Usus ini cepat menjadi gangren karena kekurangan suplai darah. Henia ini terjadi melalui cincin inguinalis dan dapat menjadi sangat berat dan sering turun ke skrotum.

3.      Insiden
Hernia inguinalis umumnya lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Insidennya tinggi pada bayi dan anak kecil. Pada bayi dan anak sekitar 1-2 % sisi kanan dan biasanya lebih sering (60 %) dibanding pada sisi kiri (20 %) bilateral sebanyak (0-15 %).

4.      Manifestasi Klinik
Umumnya klien mengatakan adanya benjolan pada lipatan paha. Pada bayi dan anak adanya benjolan yang hilang timbul dilipatan paha, dan hal ini biasanya diketahui oleh orang tuanya.
§  Pada inspeksi, diperhatikan pada keadaan osimetris pada kedua sisi lipatan paha, posisi berdiri dan berbaring. Pada saat batuk dan mengedan biasanya akan timbul benjolan.
§  Pada palpasi, teraba isis usus, omentum (seperti karet)

5.      Test Diagnostik
Tindakan diagnostik yaitu :
a.  Foto thoraaks:          Menunjukan adanya massa tanpa udara jika omentum yang masuk dan massa yang berisi udara jika lambung adalah usus yang masuk.
b.  Laboratorium :         Menunjukan adanya peningkatn pada hasil pemeriksaan SGOT.
c.  CKG :                       Biasanya dilakukan untuk persiapan operasi.

6.      Penatalaksanaan Medis
§  Pada hernia inguinalis lateralis responbiliti maka dilakukan bedah elektif.
§  Pada trepopiblis, maka diusahakan agaar isis hernia dapat dimasukan kembali.
§  Istirahat baring.
§  Kompres es.
§  Diusahakan sebelum dilakukan pembedahan, diberikan diet khusus.
§  Melakukan penekanan secara kontinue pada benjolan.
§  Tindakan pembedahan :
-          Herniotomie (memotong hernia).
-          Neriorafi (menjahit kantong hernia).

B.     KONSEP KEPERAWATAN
Data Dasar Pengkajian Pasien
Data yang diperoleh atau dikaji tergantung pada tempat terjadinya, beratnya, apakah akut atau kronik apakah berpengaruh terhadap struktur disekelilingnya dan banyaknya akar saraf yang terkompresi atau tertekan.

Aktivitas/Istirahat
Gejala : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk, mengemudi dalam waktu lama.
              Membutuhkan matras/papan yanag keras saat tidur.
Penurunan rentang gerak dari ekstremitas pada salah satu bagian tubuh.
Tidak mampu melakukan aktivitas yang biasa dilakukan.
Tanda :  Atropi otot pada bagian yang terkena.
              Gangguan dalam berjalan.

Eliminasi
Gejala :  Konstipasi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya inkontinensia atau retensi urine.

Integritas Ego
Gejala :  Ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas masalah pekerjaan, finansial keluarga.
Tanda :  Tampak cemas, depresi menghindar dari keluarga atau orang terdekat.

Neuro Sensori
Gejala :  Kesemutan, kekauan, kelemahan dari tangan atau kaki.
Tanda :  Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotonia. Nyeri tekan atau spasme otot pada vertebralis.
              Penurunan persepsi nyeri (sensorik).

Nyeri/Kenyamanan
Gejala :  Nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat, defekasi, mengangkat kaki ataua fleksi pada leher, nyeri yang tiada hentinya atau adanya episode nyeri yanag lebih berat secara intermiten. Nyeri yang menjalar pada kaki, bokong (lumbal) atau bahu/lengan, kaku pada leher  atau servikal. Terdengar adanya suara ‘krek’ saat nyeri bahu timbul/saat trauma atau merasa ‘punggung patah’.
              Keterbatasan untuk mobilisasi atau membungkuk kedepan.
Tanda :  Sikap dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang tekena. Perubahan cara berjalan, berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena.
              Nyeri pada palpasi.


C.    PROSES KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
Ø  Pengkajian data fisik berdasarkan pada pengkajian abdomen dapat menunjukan benjolan pada lipat paha atau area umbilikal.
Ø  Keluhan tentang aktivitas yang mempengaruhi ukuran benjolan. Benjolan mungkin ada secara spontan atau hanya tampak pada aktivitas yang meningkatkan tekaanan intra abdomen, seperti batuk, bersin, mengangkat berat atau defekasi.
Ø  Keluhan tentang ketidaknyamanan. Beberapa ketidaknyamanan dialami karena tegangan.  yang meningkatkan tekaanan intra abdomen, seperti batuk, bersin, mengangkat berat atau defekasi.
Ø  Keluhan tentang ketidaknyamanan. Beberapa ketidaknyamanan dialami karena tegangan. Nyeri menandakan strangulasi dan kebutuhan terhadap pembedahan segera. Selain itu manifestasi obstruksi usus dapat dideteksi (bising usus, nada tinggi sampai tidak ada mual/muntah).

2.      Diagnosa Keperawatan
a.  Nyeri (secara khusus saat mengejan) yang berhubungan dengan kondisi hernia atau intervensi pembedahan.
b.  Retensi perkemihan berhubungan dengan nyeri.
c.  Kurang pengetahuan; potensial terhadap komplikasi GI berkenaan dengan adanya hernia dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhaan mereka.


3.      Perencanaan/Implementasi
Tujuan yang harus dicapai adalah adanya kenyamanan yang sudah dapat diarasakan oleh pasien, pasien dapat berkemih tanpa kesulitan lagi, tidak adanya infeksi. Pasien dapat mengungkapkan pengetahuannya tentang tanda-tanda daan gejala komplikasi dan memenuhi tindakan yang diprogramkan untuk pencegahan.

4.      Intervensi
Ø  Kaji dan dokumentasikan nyeri; beratnya, karakternya, lokasi, durasi, faktor pencetus dan metode-metode penghilangnya. Gunakan skala nyeri pada pasien, rentangkan ketidaaknyamanan dari 0 (tanpa nyeri) sampai 10 (nyeri paling hebat).
Ø  Beritahu pasien untuk menghindari mengejan, merenggang, batuk dan mengangkat beban berat.
Ø  Berikan analgesik sesuai program bila dindikasikan, secara khusus sebelum aktivitas pasca operasi.
Ø  Kaji dan dokumentasikan distensi suprapubik atau laporan klien tentang tidak dapat berkemih.
Ø  Pantau keluaran urine. Dokumentasikan dan laporkan berkemih sering <100 ml.
Ø  Untuk mempermudah berkemih dengan mengimplementasikan intervensi berikut; posisikan pada posisi normal untuk berkemih, biarkan pasien mendengar bunyi air mengalir atau tempatkan tangan pasien di air hangat.
Ø  Anjurkan pasien untuk waspada dan melaporkan nyeri berat, menetap; mual dan muntah, demam dan distensi abdomen.
Ø  Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi diet tinggi serat atau menggunakan suplemen diet serat untuk mencegah konstipasi. Anjurkan masukan cairan sedikitnya 2-3 ltr/hr untuk meningkatkan konsistensi faeces lunak.


5.      Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
ü  Dalam 1 jam intervensi, persepsi subyektif pasien tentang ketidaknyamanan menurun, dibuktikan dengan skala nyeri. Indikator-indikator obyektif seperti meringis tidak ada atau menurun.
ü  Dalam 8-10 jam pasca pembedahan, pasien berkemih tanpa kesulitan. Keluaran urine 100 ml setiap berkemih dan adekuat (kira-kira 1000-1500 ml) lebih periode 24 jam.
ü  Setelah instruksi, pasien mengungkapkan pengetahuan tentang tanda-tanda dan gejala komplikasi dan memenuhi tindakan yang diprogramkan untuk pencegahan.



DAFTAR PUSTAKA


1.      Brunner & Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 1, EGC, Jakarta.

2.      Barbara C. Lag, 1996, Keperawatan Medikal Bedah Bagian I dan 3, Yayasan TAPK Pengajaraan, Bandung.

3.      Mansjoer, Arif dkk., 2001, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid I, Medica Aesculapius FKUI, Jakarta.

4.      R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS



                                                                       BAB I

                                                              PENDAHULUAN

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.
Glomerulonefritis ditandai dengan reaksi radang pada glomerulus dengan adanya leukosit dan proliferasi sel, serta eksudasi eritrosit, loukosit dan protein plasma dalam ruang Bowman. Selain itu tampak pula kelainan sekunder pada tubulus, interstitium dan pembuluh darah. 
Glomerulonefritis bukan merupakan infeksi ginjal oleh jasad renik, bukan pula suatu penyakit tersendiri oleh etiologi tertentu, melainkan sebiknya dianggap sebagai suatu pola reaksi ginjal terhadap berbagai factor yang belum seluruhnya jelas. Glomerulonefritis (juga disebut sindrom nefrotik), mungkin akut, dimana pada kasus seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau kronis ditandai oleh penurunan fungsi ginjal lambat, tersembunyi, dan progresif  yang akhirnya menimbulkan penyakit ginjal tahap akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai pada tahap akhir.
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai). Hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai suatu benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologi, termasuk menurunnya perubahan laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permiabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal Na dan H2O yang menekan produksi rennin dan aldosteron (Glassock, 1988).
Berbgai macam glomerulofati dapat terjadi, masing-masing dengan penampilan klinis yang berbeda. Jadi penyakit diklasifikasikan menurut morfologi, etiologi, patogenesis, sindrom klinis, atau kombinasi dari semuanya. Masing-masing tipe dari glomerulopati akan menunjukan manifestasi dari gagal ginjal  dalam tiga bulan awitan. Ini kemudian disebut glomerulonefritis yang berkembang dengan cepat, memerlukan intervensi medis awal yang berbeda.



                                                                         BAB II

                                                             TINJAUAN TEORI

A.    GLOMERULONEFRITIS AKUT

I. Defenisi

           GNA adalah inflamasi glomeruli yang terjadi ketika kompleks antigen-antibodi  terjebak dalam membran kapiler glomerular.
II. Etiologi
                  Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia awal sekolah dan jarang pada anak yang lebih muda dari 2 tahun, lebih banyak pria dari pada wanita (2 : 1).
      Timbulnya GNA didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A.  Faktor lain yang dapat menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi. 
III. Gambaran Klinik
                  Hasil penyelidikan klinis immunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses immunologis sebagai penyebab.  Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1.      Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membran basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2.      Proses autoimmune kuman streptokokkus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimmune yang merusak glomerulus.
3.      Streptokokkus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran basalis ginjal.



IV.  Gejala Klinik
       Gejala yang sering ditemukan :
1.      Hematuri
2.      Edema
3.      Hipertensi
4.      Peningkatan suhu badan
5.      Mual, tidak ada nafsu makan
6.      Ureum dan kreatinin meningkat
7.      oliguri dan anuria
V.    Komplikasi
1.      Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.
2.      Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.  Terdapat  gejala berupa gangguan  pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
3.      Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah,  pembesaran jantung dan meningkatnya TD yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi Gagal Jantung akibat HT yang menetap dan kelainan di miocardium.                                      
4.      Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis eritropoetik yang menurun.
VI.   Evaluasi  Diagnostik
1.      Urinalisis :
a.    Hematuria (mikroskopis atau makroskopis)
b.      Proteinuria (3 + sampai 4+)
c.    Sedimen : silinder sel merah, SDP, sel epitel ginjal
d.      BJ : peningkatan sedang

2.      Pemeriksaan darah :
a.    Komplemen serum dan C3 menurun
b.      BUN dan kreatinin meningkat
c.    Titer DNA – ase antigen B meningkat
d.      LED meningkat
e.    Albumin menurun
f.    Titer anti streptolisin – O (ASO) meningkat
3.      Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan memastikan diagnosis.
       VII.  Manajemen Kolaboratif
1.      Intervensi Terapeutik
a.       Batasi masukan cairan, kalium dan natrium
b.      Pembatasan protein sedang dengan oliguri dan peningkatan BUN; pembatasan lebih drastis bila terjadi gagal ginjal akut.
c.       Peningkatan karbohidrat untuk memberikan energi dan menurunkan katabolisme protein.
2.      Intervensi Farmakologis
a.       Anti HT dan diuretic untuk mengontrol HT dan edema.
b.      Penyekat H2  untuk mencegah ulkus stress pada penyakit akut.
c.       Agens ikatan fosfat untuk mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan kalsium.
d.      AB bila infeksi masih ada.

B.     Glomerulonefritis Kronik

I.       Defenisi
Adalah glomerulonefritis tingkat akhir (“and stage”) dengan kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.
II.    Etiologi  
1.      Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi.
2.      Dibatas mellitus
3.      Hipertensi kronik
4.      Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut.
III. Gambaran Klinik
1.      Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal.
2.      Lemah, nyeri kepala, gelisah, mula, coma dan kejang pada stadium akhir.
3.      Edema sedikit         bertambah jelas jika memasuki fase nefrotik.
4.      Suhu subfebril.
5.      Kolestrol darah naik.
6.      Penurunan kadar albumin.
7.      Fungsi ginjal menurun.
8.      Ureum meningkat + kreatinin serum.
9.      Anemia.
10.  Tekanan darah meningkat          mendadak meninggi.
11.  Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi.
12.  Gagal jantung        kematian.
13.  Berat badan menurun.
14.  Selalu merasa haus dan miksi pada malam hari (nokturia)
15.  Hematuria.
IV. Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pada urine ditemukan :


ü  Albumin (+)
ü  Silinder
ü  Eritrosit
ü  Lekosit hilang timbul
ü  BJ urine 1,008 – 1,012 (menetap)



2.      Pada darah ditemukan  :
ü  LED tetap meninggi
ü  Ureum meningkat
ü  Fosfor serum meningkat
ü  Kalsium serum menurun
3.      Pada stadium akhir :
- Serum natrium dan klorida menurun
-    Kalium meningkat
-    Anemia tetap
4.      Pada uji fugsional ginjal menunjukan kelainan ginjal yang progresif.
V.    Penatalaksanaan
1.      Medik  :
ü  Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
ü  Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
ü  Pengawasan hipertenasi           antihipertensi.
ü  Pemberian antibiotik untuk infeksi.
ü  Dialisis berulang         untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
2.      Keperawatan    :
ü  Disesuaikan dengan keadaan pasien.
ü  Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
ü  Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
ü  Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
ü  Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau GGK.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS
       1.  Pengkajian
Ø  Genitourinaria
·         Urine keruh
·         Proteinuria
·         Penurunan urine output
·         Hematuri
Ø  Kardiovaskuler
·         Hipertensi
Ø  Neurologis
·         Letargi
·         Iritabilitas
·         Kejang
Ø  Gastrointestinal
·         Anorexia
·         Vomitus
·         Diare
Ø  Hematologi
·         Anemia
·         Azotemia
·         Hiperkalemia
Ø  Integumen
·         Pucat
·         Edema
      2.   Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Ø  Gangguan perfusi jaringan b/d  retensi air dan hipernatremia
KE :  Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal ditandai dengan  tekanan darah dalam batas normal, penurunan retensi air, tidak ada tanda-tanda hipernatremia.

      Intervensi :
      1.  Monitor dan catat TD setiap 1 – 2 jam perhari selama fase akut.
            R/ untuk mendeteksi gejala dini perubahan TD dan menentukan intervensi selanjutnya.
      2.   Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction 
            R/ serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke otak
3.      Atur pemberian anti HT, monitor reaksi klien.
R/ Anti HT dapat diberikan karena tidak terkontrolnya HT yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
4.      Monitor status volume cairan setiap 1 – 2 jam, monitor urine output (N : 1 – 2 ml/kgBB/jam).
R/ monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat menyebabkan tekanan darah.
5.      Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap 8 jam.
R/ Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada status neurologis, memudahkan intervensi selanjutnya.
6.      Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.
R/ diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.
Ø  Peningkatan volume cairan b/d oliguri
KE :   Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas normal ditandai dengan urine output 1 - 2 ml/kg BB/jam.
Intervensi :
1.      Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.
R/ : Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan , penurunan output urine merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.
2.      Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak laki-laki cek adanya pembengkakan pada skrotum
R/ : Peningkatan lingkar perut danPembengkakan pada skrotum merupakan indikasi adanya ascites.
3.      Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila menggunakan tiazid/furosemide.
R/ : Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang membutuhkan penanganan pemberia potassium.
4.      Monitor dan catat intake cairan.
R/ : Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan dan penurunan laju filtrasi glomerulus, dan juga membutuhkan pembatasan intake sodium.
5.      Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.
R/ : Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan protein sebagai indikasi adanya penurunan perfusi ginjal.
6.      Monitor hasil tes laboratorium
R/ : Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar kreatinin indikasi adanya gangguan fungsi ginjal.
Ø  Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) b/d anorexia.
KE : Klien akan menunjukan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi  :
1.      Sediakan makan dan karbohidrat yang tinggi.
R/ : Diet tinggi karbohodrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
2.      Sajikan makan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
R/ : Menyajikan makan sedikit-sedikt tapi sering, memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaannya dapat menigkatkan nafsu makan.
3.      Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
R/ : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.

Ø  Intolerance aktiviti b/d fatigue.
KE : Klien akan menunjukan adanya peningkatan aktivitas ditandai dengan adanya kemampuan untuk aktivitas atau meningkatnya waktu beraktivitas.
Intervensi  :
1.      Buat jadwal/periode istirahat setelah aktivitas.
R/ : Dengan periode istirahat yang terjadual menyediakan energi untuk menurunkan produksi dari sisa metabolisme yang dapat meningkatkan stress pada ginjal.
2.      Sediakan/ciptakan lingkungan yang tenang, aktivitas yang menantang sesuai dengan perkembangan klien.
R/ : Jenis aktivitas tersebut akan menghemat penggunaan energi dan mencegah kebosanan.
3.      Buat rencana/tingkatan dalam keperawatan klien agar tidak dilakukan pada saat klien sementara dalam keadaan istirahat pada malam hari.
R/ : Tingkatan dalam perawatan/pengelompokan dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.
Ø  Gangguan istirahat tidur b/d immobilisasi dan edema.
KE : Klien dapat mempertahankan integritas kulit ditandai dengan kulit tidak pucat, tidak ada kemerahan, tidak ada edema dan keretakan pada kulit/bersisik.
Intervensi  :
1.      Sediakan kasur busa pada tempat tidur klien
R/ : Menurunkan resiko terjadinya kerusakan kulit.
2.      Bantu merubah posisi tiap 2 jam.
R/ : Dapat mengurangi tekanan dan memperbaiki sirkulasi, penurunan resiko terjadi kerusakan kulit.
3.      Mandikan klien tiap hari dengan sabun yang mengandung pelembab.
R/ : Deodoran/sabun berparfum dapat menyebabkan kulit kering, menyebabkan kerusakan kulit.
4.      Dukung/beri sokongan dan elevasikan ekstremitas yang mengalami edema.
R/ : Meningkatkan sirkulasi balik dari pembuluh darah vena untuk mengurangi pembengkakan.
5.      Jika klien laki-laki scrotum dibalut.
R/ : Untuk mengurangi kerusakan kulit

                                                                            BAB.III

                                                        KESIMPULAN


1.      Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin  endogenus (seperti sirkulasi triglobulin) atau ekgsogenus (agent infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai).

Glomerulonefritis akut adalah istilah yang secara luas yang mengacu kepada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus, yang menyebabkan reaksi inflamasi atau lesi nekrosis dalam   glomerulus yang biasaanya disebabkan oleh respon imunologis.

Glomerulonefritis kronik adalah glomerulonefritis tingkat akhir (“end stage”) dengan kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang ireversibel.
2.      Untuk kasus glomerulonefritis akut umumnya terjadi pada anak-anak 6-8 tahun dan pada usia dewasa muda dengan insidensi glomerulonefrits akut 60-80 % mewakili infeksi sal.napas bagian atas atau otitis media. Sedangkan pada glomerulonefritis kronik adalah bentuk progresi dari G.akut. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai pada tahap akhir.
3.      Penatalaksanaan  :
a.       Glomerulonefritis akut.
Intervensi Terapeutik :
·         Batasi masukan cairan, kalium dan natrium.
·         Pembatasan protein sedang dengan oliguri dan peningkatan BUN; pembatasan lebih    drastis bila terjadi gagal ginjal akut.
·         Peningkatan karbohidrat untuk memberikan energi dan menurunkan katabolisme protein.
Intervensi Farmakologis
·         Anti HT dan diuretic untuk mengontrol HT dan edema.
·         Penyekat H2  untuk mencegah ulkus stress pada penyakit akut.
·         Agens ikatan fosfat untuk mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan kalsium.
·         AB bila infeksi masih ada.
b.      Glomerulonefritis kronik  :
a.       Medik  :
ü  Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
ü  Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
ü  Pengawasan hipertenasi           antihipertensi.
ü  Pemberian antibiotik untuk infeksi.
ü  Dialisis berulang         untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
b.      Keperawatan    :
ü  Disesuaikan dengan keadaan pasien.
ü  Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
ü  Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
ü  Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
ü  Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau GGK.
4.      Penetapan Diagnosa Keperawatan  :
Diagnosa keperawatan yang didapatkan pada glomerulonefritis akut dan kronik berdasarkan penyimpangan Kebutuhan Dasar Manusia terhadap patogenesis adalah  :
q  Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan meningkatnya reabsorbis tubulus dan retensi Na dan H2O.
q  Peningkatan volume cairan berhubungan dengan oliguria
q  Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan berhungan dengan anorexia.
q  Intolerance activity berhubungan dengan fatigue.
q  Intolerance activity berhubungan dengan kelemahan.
q  Kelebihan cairan berhubungan dengan oliguria dan anuria.
q  Gangguan pola tidur berhubungan dengan imobilisasi
q  Resiko tinggi integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi.
q  Peningkatan suhu tubuh berhubungan reaksi radang, pelepasan zat pirogen.
q  Kecemasan berhubungan dengan kurang informasi akan perubahan status kesehatan.





Daftar Pustaka

1.      Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth edisi 8 volume 2, Sozannie, Smeltzer and Brenda.E.Bare, penerbit EGC, Jakarta 2002.
2.      Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2 edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta 1995.
3.      Buku saku Keperawatan Pediatri, Cecily L.Betz dan Linda A. Sowden,  Edisi 3, Penerbit EGC Jakarta 2002.
4.      Pedoman Praktek Keperawatan, Sandra M.Nettina, Penerbit EGC, Jakarta.
5.      Perawatan Anak Sakit, Ngastiyah, Penerbit EGC, Jakarta 1997. 
6.      Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Barbara Engram, Volume I, Penerbit EGC, Jakarta 1998.
7.      Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Barbara C. Long, Bandung 1996.